katazikurasana30. Diberdayakan oleh Blogger.

Contoh Makalah Agama Tentang Ijtihad Sumber dan Metodologi Hukum Islam


BAB I
PENDAHULUAN

1.       Latar Belakang
Kita sebagai kaum muslimin tentunya menginginkan agar senantiasa berada pada rel kehidupan yang diinginkan-Nya. Al-Qur’an merupakan pedoman hidup bagin manusia, kitab yang mengatur secara detail, sedetail-detailnya setiap napas, gerak, ucap dan tingkah laku manusia. Bahkan isi hati sebagai relung terdalam dari jiwa manusia diatur juga agar selalu ingat kepada-Nya.
Kita harus meyakini dan percaya bahwa Tuhan itu ada, juga mengalami dan menjauhi segala larangannya yang telah tercantum dalam As-Sunnah dan Al-Qur’an.
Al-Qur’an dan Al-Sunnah merupakan sumber ijtihad, baik untuk mengeluarkan hukum-hukum fikih maupun menyangkut katakinan-keyakinan teologis dan mistisme islam.

2.       Tujuan
Adapun tujuan kami dalam menyusun makalah ini adalah untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Pendidikan Agama Islam, menambah wawasan mahasiswa sebagai calon pendidik yang modern dan fprofesional, serta untuk malatih mahasiswa sebagai calon pendidik agar dapat mengemukakan materi ini.


BAB II
IJTIHAD
SUMBER DAN METODOLOGI HUKUM ISLAM

A.  KAPAN UMAT PERLU IJTIHAD ?
Kata “Ulli al-Amri” dalam QS. Al-Nisa/ 4 : 59 dipahami oleh  Islam Sunni dan Islam Syi' ah secara berbeda 1 Islam Sunni mengkonotasikan kata tersebut sebagai ijma (kesepakatan) Ah al - Halli wa al-'Aqdi kalangan mujtahidin (orang yang memiliki otoritas ber-ijtihad) ter-utama Jima ' sahabat Nabi; sementara Islam Syi' ah mengkonotasi-kannya kepada para Imam dari kalangan Ahl al-Bayt.
Sejak Nabi wafat Islam Sunni telah ber-ijtihad, di antaranya dalam menetapkan khalifah pengganti beliau. Terpilihnya keempat khalifah al-rasyidin diyakini sebagai hasil Jima. Adapun Islam Syi 'ah memandang Uli al-Amri harus ma'shum (terbebas dari dosa dan kesalahan) seperti Nabi, karena ketaatan kepadanya sebagai ketaatan mutlak seperti mentaati Nabi. Tradisi berijtihad di kalangan mereka baru ada sekitar 250 tahun kemudian, setelah gaibnya Imam ke 12, Imam Mahdi.
Sandaran mereka mengikuti para Imam dari kalangan Ahl al­Bayt adalah hadits Nabi yang sangat populer "Telah aku tinggalkan dl antara kalian dua pusaka yang jika kalian berpegang teguh kepada keduanya kalian tidak akan tersesat selama-lamanya, yaitu Kitab Allah dan Sunah Rasul" : Tentang Kitab Allah antara kita dan mereka sama, yaitu AI-Quran. Tapi tentang Sunah Rasul, yang mereka maksudkan adalah Sunah Rasul yang diurai dan diabadikan oleh ke 12 Imam. Sandaran mereka adalah hadits lainnya: Telah aku tinggalkan di antara kalian dua pusaka yang jika kalian berpegang teguh kepada keduanya kalian tidak akan tersesat selama-lamanya, yaitu Kitab Allah dan keturunanku. Sementara kita mengartikan Sunah Rasul sebagai hadits-hadits Nabi yang disampaikan para sahabatnya, termasuk para sahabat dari keluarga Nabi, yang memiliki kualifikasi shahih, atau sekurang-kurang nya hasan.
Di kalangan Sunni kegiatan ijtihad sangat hidup, bahkan sejak Nabi masih ada. Hadits tentang Mu'ad bin Jabbal ketika diangkat menjadi duta Nabi di Yaman begitu populer dan dijadikan sandaran ijtihad'. Sahabat Nabi yang sangat populer dengan aktivitas ijtihad adalah Umar bin Khathab, khalifah al-rasyidah yang kedua. Banyak tabi'in (pengikut sahabat Nabi) dan Imam mazhab yang merujuk ijtihad khalifah kedua ini. Di antara Mazhab Empat, Imam Abu Hanifah adalah mujtahid yang paling banyak dipengaruhi oleh Khalifah Umar bin Khathab.

B.     APA ITU IJTIHAD

Kata ijtihad bukanlah seperti yang dikatakan awam sebagai pendapat pribadi tentang permasalahan agama.
Ijtihad yang benar adalah sebagaimana didefinisikan para ahli Ushul Fikih, yakni usaha mujtahid dengan segenap kesungguhan dan kesanggupan untuk mendapatkan ketentuan hukum sesuatu masalah engan menggunakan metodologi yang benar dari kedua sumber hukum AI-Quran dan AI-Sunah.
Dari definisi ahli Ushul Fikih di atas, ijtihad bukanlah dilakukan oleh sembarang orang, melainkan orang yang memiliki otoritas untuk melakukan ijtihad yaitu "mujtahid". Sumber hukumnya adalah : pertama, ayat -­ayat AI-Qur’an yang berjumlah lebih dari enam ribu ayat; baik sebagai satu kesatuan yang utuh-bulat, satu kesatuan surat persurat maupun secara parsial ayat perayat ; kedua, hadits-hadits Nabi yang juga bejumlah ribuan dan melalui seleksi yang ketat tentang ke-shahihannya ; dan ketiga, ijma' para sahabat- Nabi :
 Dalam Islam Syi'ah, ijtihad bukanlah menggunakan metode­metode semacam qiyas dan mashalih mursalah tersebut. Ijtihad adalah penyimpulan hukum dari Al-Quran dan AI-Sunah melalui prinsip-prinsip syara.

C.     METODOLOGI IJTIHAD

Para Imam mujtahid mutlak berhasil mengembangkan metodologi ijtihad, di antaranya yang paling utama adalah : qiyas, istihsan, mashalih mursalah, dan 'urf atau adat kebiasaan'.

Qiyas

Qiyas menurut para ahli Ushul Fikih adalah menetapkan suatu hukum "baru" yang belum ada nash-nya dengan hukum yang "sudah ­ada" adalah adanya persamaan 'illat hukum (maksud dan tujuan hukum) dari kedua peristiwa itu
Contoh implementasi qiyas adalah hukum melototi dan menempeleng orang tua. Hukum ini belum ada nash-nya. Nash yang sudah ada adalah larangan mengatakan uff (QS, Sunda: Ahl) dan membentak .kedua orang tua (QS. AI-isro/ 17:23).
Maksud dan tujuan (illaf) larangan mengatakan uff dan membentak adalah larangan "menyakiti" orang tua. Karena melototi dan menempeleng termasuk menyakiti orang tua, maka hukumnya pun menjadi terlarang juga.
Kencing itu najis, tapi bila kita kencing dan mau melakukan shalat cukup dengan berwudhu; sementara sperma tidak najis, tapi bila kita mengeluarkan sperma dan hendak melakukan shalat maka kita wajib mandi janabath Bagaimana mungkin menerapkan qiyas dalam kasus demikian
Tarjih Muhammadiyah membatasi qiyas hanya untuk masalah-masalah di luar peribadatan.

Istihsan

Istihsan merupakan perluasan dari qiyas Adapun yang dimaksud dengan istihsan adalah meninggalkan qiyas jalli (qiyas nyata) untuk menjalankan qiyas khaf (qiyas samar-samar), atau meninggalkan hukum kulli (hukum umum) untuk menjalankan hukum istisna'i (pengecualian), disebabkan ada dalil logika yang membenarkannya.
Contoh penggunaan istihsan dalam jual-beli.Islam hanya membenarkan transaksi jual-beli jika barangnya sudah nyata-nyata ada. Praktek salam, yakni jual-beli dengan cara bayar duluan sementara barangnya belakangan, dilarang oleh Islam. Tentu saja maksudnya agar tidak terjadi kecurangan. Tapi zaman berkembang dan sistem transaksi bisnis bergerak lebih cepat. Sering kali produsen tidak sanggup menyediakan barang yang dibutuhkan pelanggan karena keterbatasan modal. Atas dasar kebutuhan dan kepercayaan, pelanggan akhirnya membayar duluan, sementara barang yang dipesannya baru diproduksi setelah pelanggan membayar (penuh ataupun sebagian) dari keseluruhan harga barang yang dipesannya. Pembayaran secara salam tersebut merupakan "kekecualian" dari salam yang umum.

Mashalih al-Mursalah

Mashalih al-mursalah ialah suatu kemaslahatan yang tidak ditetapkan oleh syara dan tidak ada pula nash atau dalil syara baik yang memerintahkan maupun melarang. Contohnya, mendirikan penjara. Hukum Islam menetapkan qishash bagi pembunuhan sengaja, hukum cambuk bagi pezina dan penuduh zina yang tidak sanggup mendatangkan empat orang saksi, dan hukum potong tangan bagi pencuri yang tertentu. Dalam perkembangan hukum terjadi beragam tindak pidana dan kriminal yang tidak tercakup secara tegas dalam syara Kemudian muncul "penjara". Syard  tidak memerintahkan ataupun melarang pembuatan penjara. Tapi karena fungsinya sangat baik bagi keamanan dan ketertiban masyarakat, maka keberadaan penjara dapat dipandang bermaslahat.
Sebenarnya mashalih al-mursalah mirip dengan istihsan, yakni mencari kemaslahatan. Bedanya, jika ihtihsan mengambil qiyas khaf dari qiyas jalli, maka mashalih al-mursalah menetapkan suatu hukum yang tidak diperintah ataupun dilarang oleh syara.  Metode ini dikembangkan oleh Imam Maliki.

Urf atau Adat Kebiasaan

Urf merupakan kebiasaan masyarakat baik berupa perkataan atau perbuatan yang baik, yang karenanya dapat dibenarkan oleh syara' Contohnya belanja di supermarket tanpa adanya ijab-qabul secara lisan dengan lafal yang jelas, karena ketika pelanggan memilih barang dan membayarnya di kasir sebenarnya sudah terjadi ijab-qabul. Hukum kebiasaanlah ('urf) yang menetapkan sahnya jual-beli demikian.
Tentu saja, ada juga 'urf yang rusak. Misalnya ijon. Praktek riba ini sudah menjadi adat kebiasaan masyarakat, tapi syara' mengharamkan riba. Karena itu praktek ijon tidak dapat dibenarkan oleh Islam.
Di Indonesia, ijtihad sering dilakukan secara kolektif (ijtihad jam riah), antara lain dalam Forum Bahtsul Masail Diniyah (Nahdhatul Ulama, NU), Majlis Tarjih (Muhammadiyah), dan Lembaga Fatwa (Majelis Ulama Indonesia, MUI). Organisasi keagamaan lainnya pun, seperti Persatuan Islam (Persis), menyelenggaralen pula kegiatan ijtihad dalam forum mereka.
Sebagai panduan bagi kaum muslimin, bagi warga Nahdhiyin khususnya, hasil Muktamar dan Munas Ulama NU tentang masalah­masalah keagamaan sejak pertama kali berdirinya jam' iyah ini, 1926, sampai akhir-akhir ini telah dibukukan (dalam 2 buku). Demikian juga hasil Tarjih Muhammadiyah, walau dokumen awal belum ditemukan.
Dalam memutuskan suatu hukum, Majlis Tarjih Muhammadiyah menetapkan pokok-pokok manhaj, antara lain :
1.       Di dalam beristidlal dasar utamanya adalah AI-Quran dan Al-­Sunah al-Shahihah. Ijtihad dan istinbath atas dasar illah terhadap hal-hal yang tidak terdapat di dalam nash, dapat ditakukan sepanjang tidak menyangkut bidang taabbudi dan memang merupakan hal yang diajarkan dalam memenuhi kebutuhan hidup manusia. Dengan perkataan lain, Majelis Tarjih menerima ijtihad, termasuk qiyas, sebagai cara dalam menetapkan hukum yang tidak ada nashnya secara langsung.
2.       Tidak mengikatkan diri kepada suatu madzhab, tetapi pendapat-pendapat madzhab dapat menjadi bahan pertimbangan dalam menetapkan hukum. Sepanjang sesuai dengan jiwa AI-Quran dan AI-Sunah, atau dasar-dasar lain yang dipandang kuat.
3.       Dalil-dalil umum AI-Quran dapat ditakhsis dengan hadits Ahad, kecuali dalam bidang Aqidah.
4.       Dalam bidang ibadah yang diperoleh ketentuan-ketentuannya dari al-Quran dan AI-Sunah, pemahamannya dapat dengan menggunakan akal, sepanjang diketahui latar belakang dan tujuannya. Meskipun harus diakui, bahwa akal bersifat nisbi, sehingga prinsip mendahulukan nash daripada akal memiliki kelenturan dalam menghadapi perubahan situasi dan kondisi.
5.       Dalam memahami nash, makna lahir didahulukan dari ta'wil dalam bidang aqidah. Dan ta'wil sahabat dalam hal itu, tidak harus diterima.

D.     HASIL IJTIHAD BERBEDA-BEDA

Mengapa hasil ijtihad para mujtahid bisa berbeda? Dan bagaimanakah sikap kita terhadap perbedaan hasil ijtihad tersebut ? Ada beberapa sebab : Pertama, dilihat dari sifat lafal yang ada (baik dalam AI-Quran maupun hadits), terkadang dalam satu lafal mengundang makna ganda. Bahkan terkadang kedua-duanya bersifat hakiki. Contoh klasik adalah istilah quru  dalam Q.S. AI-Baqarah/2: 228. Ulama Hanafiyah memaknai quru sebagai haidh (menstruasi), sedangkan Ulama Syafi'iyah memaknainya thuhr (suci). Implikasi hukumnya jelas berbeda. Bagi Imam Hanafi, jika seorang istri yang telah bercerai mau menikah lagi dengan laki-laki lain, ia cukup menunggu tiga kali haidh, sedangkan menurut Imam Syafi'i, ia harus menunggu tiga kali suci.
Hikmah  guru  diartikan dengan haidh (dalam pandangan Hanafiyah) adalah agar wanita yang telah bercerai dari suaminya bisa segera menikah lagi dengan laki-laki lain pilihannya ; sementara hikmah diartikan dengan suci (dalam pandangan Syafi'iyah) adalah memberi kesempatan yang luas kepada suami-istri yang telah bercerai itu untuk merenung baik-buruknya perceraian yang telah dijatuhkannya, sehingga keputusan apa pun yang mereka ambil (apa tetap bercerai atau rujuk kembali) memang telah dipertimbangkannya matang-matang dan dalam waktu yang lama.
Ada lagi satu lafal yang mempunyai makna hakiki dan majazi (kiasan) sekaligus. Contohnya lafal “yunfau" dalam Q.S. AI-Maidah/5: 33. Ulama umumnya mengartikan 'yunfau' dengan "diusir dari kampung halaman". Dan ini memang makna hakikinya. Tapi ulama Hanafiyah mengartikannya dengan "penjara". Implikasi hukumnya jelas berbeda. Ulama pertama menetapkan hukuman bagi orang orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya, atau membuat kerusakan di bumi, dengan hukuman "diusir dari kampung halamannya". Sedangkan ulama Hanafiyah menetapkan "penjara" sebagai hukumannya.
Dua kasus di atas merupakan contoh yang sangat sederhana proses dan hasil ijtihad dengan maksud agar mudah dicerna. Jelas, bahwa lafal AI-Quran dan hadits itu demikian adanya, sehingga terkadang menimbulkan perbedaan paham.
Contoh lainnya lagi adalah dalam menetapkan mana lafal yang qath'i (benar secara mutlak) dan mana pula lafal yang zhanni (penafsiran yang masih diperdebatkan). Menurut Quraish Shihab, dilihat dari segi maknanya, ayat yang qath'i mempunyai arti yang pasti (maknanya), sedangkan ayat yang zhanni adalah tidak pasti. Pada ayat yang yang zhanni inilah ada peluang untuk berbeda pandangan. Untuk menentukan manakah ayat yang qath'i biasanya memerlukan kesepakatan ulama. Tapi kesepakatan itu pun tidak secara resmi diumumkan, misalnya bahwa ayat itu adalah qath'i

E.     SERUAN BARU UNTUK IJTIHAD

Berbeda dengan kaum tradisional yang mengajak umat untuk ber-taqlid dengan Imam-imam mazhab, kaum Salaf dan terutama modernis di abad 19 dan awal abad 20 justru mengajak umat untuk ber-ijtihad dan meninggalkan taqlid. Jamaluddin al-Afghani, Muhammad Abduh, dan Rasyid Ridha (Mesir), Syaikh Waliullah, Ahmad Khan, dan Muhammad Iqbal (India-Pakistan), dan Muhammad bin Abdul Wahab (Saudi Arabia) disebut sebut sebagai ulama dan cendekiawan yang paling gencar menyerukan perlunya ber-ijtihad dan meninggalkan taqlid. Di Indonesia, K.H. Ahmad Dahlan (pendiri Muhammadiyah) dan Ustad A. Hasan (pendiri Persis) dikategorikan sebagai ulama yang ittiba'. Adapun Hadratussyaikh Hasyim Asy'ari (pendiri NU) justru melarang ijtihad bagi orang yang tidak memenuhi syarat, malah menganjurkan taqlid. Ulama mazhab (para peneliti Barat sering menyebutnya kaum tradisional) memang tidak mentah-mentah menolak ijtihad. Anjuran taqlid terutama ditujukan untuk orang awam. Adapun ulama dan cerdik pandai yang telah memenuhi syarat ijtihad malah dianjurkan pula ber-ijtihad. Tapi kaum Salaf dan modernis tetap melarang taqlid bagi orang awam sekalipun. Orang yang tidak mampu ber-ijtihad oleh kaum Salafdan modernis dianjurkan untuk ber-ittiba' (berusaha memahami proses (ijtihad para mujtahid).

F.      IJTIHAD DAN TAQLID DI KALANGAN NU – MUHAMMADIYAH

Hadratussyaikh Hasyim Asy`ari - pendiri NU - dalam risalah Ahlussunnah wal Jama'ah bagian "Dasar-dasar Jam'iyah NU" yang disusun tahun 1941 membuat satu fasal tentang keharusan taqlid bagi orang yang tidak mempunyai kemampuan berijtihad. Lebih lengkapnya beliau mengungkapkan.
Menurut pendapat jumhur ulama muhaqqiq, bagi setiap orang yang tidak memikili kualifikasi ijtihad mutlak - meskipun ia me­nguasai ilmu-ilmu yang dapat diakui untuk berijtihad - wajib mengikuti pendapat para mujtahid dan mengikuti fatwa mereka agar ia terlepas dari beban taklif, dengan mengikuti siapa saja di antara mereka yang ia kehendaki. Hal ini berdasarkan firman Allah : yang artinya "Maka, bertanyalah kepada orang yang berpengetahuan jika kamu tidak mengetahui" : (Q.s. AI-Nahl/16:43).
Dengan demikian, orang yang tidak mengerti beberapa hal yang penting, diwajibkan untuk bertanya. Ini merupakan taqlid terhadap orang yang berpengetahuan ('alim). Ayat di atas bersifat umum dan mencakup semua orang yang menjadi sasaran ayat tersebut. Dan ayat tersebut tentunya harus umum dan mencakup pertanyaan mengenai segala sesuatu yang tidak diketahui. Telah disepakati, bahwa orang-orang yang bertentangan dan berbeda pendapat, sebaiknya bertanya (meminta fatwa) kepada para mujtahid. Mereka sebaiknya menjalankan hukum-hukum syara'. Ada kesepakatan bahwa orang awam harus mengikuti mujtahid. Pemahaman orang awam terhadap AI-Kitab dan AI-Sunah tidak diperhitungkan, apabila tidak sesuai dengan pemahaman para ulama besar dan terpilih dari ahl al-haq. Semua pembuat bidah dan orang-orang tersesat juga memahami hukum-hukum yang batil dari AI-Kitab dan Al-Sunah, dan mengambil dari keduanya, padahal semua itu tidak dapat membantu sedikitpun pada kebenaran.
Orang awam tidak diharuskan bersikap konsisten pada satu mazhab dalam setiap kejadian. Andaikata ia menganut mazhab tertentu, Syafi'i, umpamanya, maka ia tidak diwajibkan menganutnya terus menerus, melainkan diperbolehkan berpindah ke madzhab lainnya. Orang awam yang tidak memiliki semacam pemikiran, istidlal dan tidak membaca satu kitab pun mengenai masalah furu' mazhab, apabila ia mengatakan, "Saya bermazhab Syafi'i", hal ini tidak dapat diterima begitu saja. Dikatakan : apabila seorang awam menetapi satu madzhab tertentu, maka ia merasa harus terus tetap ­pada madzhab tertentu, sebab ia mempunyai keyakinan bahwa madzhab yang dianutnya adalah benar, sehingga ia harus tetap setia dengannya sesuai dengan keyakinannya.
Tapi dalam peristiwa yang tertentu, misal dalam shalat ber jamaah, seseorang yang mengikuti suatu mazhab (muqallid) boleh : mengikuti imam lain. Ia diperbolehkan mengikuti seorang imam saat  melakukan shalat Dzuhur, umpamanya, dan mengikuti imam lain dalam shalat Asar.
Berbeda dengan Muhammadiyah, sejak awal didirikan jam'iyah ini justru mengajak umat untuk kembali secara langsung kepada AI-Quran dan AI-Sunah, dan "melarang" taqlid.
Dalam Kongres XVI Tahun 1927 di Pekalongan, atau satu tahun setelah berdirinya NU yang telah mengeluarkan fatwa tentang wajibnya bermadzhab, Muhammadiyah mendirikan Majelis Tarjih. Tujuannya, untuk menetapkan suatu hukum yang sesuai dengan AI-Quran dan AI-Sunah. Tahun 1935 muncul gagasan tentang Mabadi Khamsah Manhaj Tarjih Muhammadiyah, yaitu : al-Din, al-Dunya, al-ibadah, Sabilillah, dan al-Qiyas. Tapi perumusannya baru terealisir pada akhir tahun 1954 dan awal 1955 dalam muktamar khusus Majelis Tarjih di Yogyakarta. Muktamar khusus ini menegaskan maksud “Al-Sunah" sebagai "hadits” yang shahih", sebagai lawan dari "hadits yang dla'if".
Dalam Muktamar ke-41 di Solo, Tahun 1986, Muhammadiyah berhasil merumuskan Manhaj Tarjih dan beberapa metode ijtihad yang telah digunakan, agar dimaklumi oleh anggota Majelis Tarjih pada khususnya dan "warga" Muhammadiyah pada umumnya. Keputusan ini secara implisit menegaskan tentang perlunya berijtihad bagi setiap "warga" Muhammadiyah, baik yang memiliki kemampuan berijtihad maupun masyarakat awam.
 

BAB III

PENUTUP

1.       Kesimpulan

Ijtihad yang benar adalah sebagaimana didefinisikan para ahli ushul fikih yakni usaha-usaha mujtahid dengan segenap kesungguhan dan kesanggupan untuk mendapatkan ketentuan hukum suatu masalah dengan menggunakan metodologi yang benar dengan bersumber kepada ayat-ayat Al-Qur’an, hadits-hadits nabi dan ijma para sahabat nabi.
Metodologi ijtihad diantaranya yaitu qiyas, istihsan, mashalih mursalah dan ‘urf atau adat kebiasaan.
Hasil ijtihad para mujtahid berbeda-beda karena dilihat dari sifat lafal yang ada, terkadang dalam satu lafal mengundang makna ganda.

2.       Saran

Semoga dengan dibuatnya makalah ini diharapkan kita dapat mningkatkan pengetahuan kita dalam memahami makna belajar dan strategi belajar sehingga jika suatu saat kita jadi pendidik. Dan penulis menyadari bahwa dalam pembuatan makalah ini masih jauh dari sempurna, untuk itu kami mengharapkan saran dan kritik yang sifatnya membangun demi kesempurnaan penyusunan makalah dimasa yang akan datang.

DAFTAR PUSTAKA 


Asjmuni Abdurrahman (2002), Manhaj Tarjih Muhammadiyah:  Metodogi dan Aplikasi, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Atho Mudzhar, H.M. (1998), Membaca Gelombang Ijtihad : Antara T'radisi dan Liberasi, Yogyakarta : Titian Ilahi Press.

Azis Masyhuri, K.H.A. (1997), Masalah Keagamaan Hasil Muktamar dan Munas Ulama Nahdatul Ulama Kesatu 1926 s.d. Kedua puluh sembilan 1994, Cetakan IV, Surabaya : PP Rabithah Ma'ahidi Islamiyah bekerja sama dengan Dinamika Press.

Hasbi al-Shiddiqy, Fikih Islam, Jakarta, Bulan-Bintang, 1975.

Hasil Muktamar XXX Nahdlatul Ulama (13-18 Sya'ban,1420 H/ 21-26 Nopember 1999), Masail Al-Diniyah Al-Waqiiyyah dan Masail Al-Diniyah Al-Maudzuiyyah, Jakarta: Sekjen PB NU.

Hasyim Asy'ari, Hadratussyaikh (20 Syawal 1360 H), Risalah Ahlussunnah wa al-Jamaah, dalam M. Arief Hakim, Editor (1999), Risalah Ahlussunnah wal Jama’ah, Yogyakarta : LKPSM.

Musthafa Kamal Pasha & Ahmad Adaby Darban (2000), Muhammadiyah sebagai Gerakan Islam : dalam Perspektif Historis dan Ideologis, Yogyakarta: LPII.
0 Komentar untuk "Contoh Makalah Agama Tentang Ijtihad Sumber dan Metodologi Hukum Islam "

Back To Top