katazikurasana30. Diberdayakan oleh Blogger.

Contoh Makalah Agama Tentang Aliran Filsafat Pragmatisme

BAB I

PENDAHULUAN


1.1  Latar Belakang Masalah

Pendidikan sebagai upaya untuk membangun sumber daya manusia memerlukan wawasan yang sangat luas, karena pendidikan menyangkut seluruh aspek.

Kehidupan manusia, baik dalam pemikiran maupun pengalamannya. Pengkajian filosofis terhadap pendidikan mutlak diperlukan, karena kajian semacam ini akan melihat pendidikan dalam suatu realitas yang komprehensif. 

Filsafat pendidikan Pragmatisme merupakan salah satu mazhab filsafat pendidikan yang menjadi kajian filosofis.

1.2  Rumusan Masalah
Masalah-masalah yang akan dibahas dalam makalah ini dapat dirumuskan sebagai berikut :
1.      Pengertian filsafat pendidikan Pragmatisme
2.      Pandangan filsafat pendidikan Pragmatisme terhadap realitas, pengetahuan, nilai dan pendidikan
3.      Implikasi filsafat pendidikan Pragmatisme terhadap pelaksanaan pendidikan

1.3  Tujuan Penulisan
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini diantaranya :
1.      Untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Filsafat Pendidikan
2.      Untuk mengkaji lebih dalam mengenai Mazhab Filsafat Pendidikan Pragmatisme.

1.4  Metode Penulisan
Metode yang digunakan dalam pembuatan makalah ini adalah metode literatur, atau disebut juga dengan  metode study pustaka yang menggunakan buku sebagai sarana dalam suatu pembuatan makalah yang dapat menjadi suatu langkah dalam memperlancar pembuatan makalah ini.

BAB  II
FILSAFAT PENDIDIKAN PRAGMATISME

Pragmatisme dipandang sebagai filsafat Amerika asli. Namun sebenarnya berpangkal pada filsafat empirisme Inggris, yang berpen­dapat bahwa manusia dapat mengetahui apa yang manusia alami. Pendiri filsafat pragmatisme di Amerika adalah Charles Sandre Peirce (1839-1914), William James (1842-1910), dan John Dewey (1859­-1952). Ketiga filasof tersebut berbeda, baik dalam metodologi maupun dalam kesimpulannya. Pragmatisme Peirce dilandasi oleh fisika dan matemtika, filsafat Dewey dilandasi oleh sains-sains sosial dan biologi, sedangkan pragmatisme James adalah personal, psikilogis, dan bahkan mungkin religius.
Istilah pragmatisme berasal dari perkataan “pragma” artinya praktik atau aku berbuat. Maksudnya bahwa makna segala sesuatu tergantung dari hubungannya dengan apa yang dapat dilakukan.
Istilah lainnya yang dapat diberikan pada filsafat pragmatisme adalah intrumentalisme dan eksperimentalisme. Disebut instrumen­talisme, karena menganggap bahwa dalam hidup ini tidak dikenal tujuan akhir, melainkan hanya tujuan antara dan sementara yang meru­pakan alat untuk mencapai tujuan berikutnya, termasuk dalam pendidikan tidak mengenal tujuan akhir. Kalau suatu kegiatan telah mencapai tujuan, maka tujuan tersebut dapat dijadikan alat untuk mencapai tujuan berikutnya. Dikatakan eksperimentalisme, karena filsafat ini menggunakan metode eksperimen dan berdasarkan atas pengalaman dalam menentukan kebenararnya.

1.       Realitas
Realitas merupakan interaksi antara manusia dengan lingkungannya. Manusia dan lingkungannya berdampingan, dan memiliki tanggung jawab yang sama terhadap realitas. Dunia akan bermakna sejauh manusia mempelajari makna yang terkandung di dalamnya. Perubahan merupakan esensi realitas, dan manusia harus siap mengubah cara-cara yang akan dikerjakannya. Manusia pada hakikatnya plastis dan dapat berubah.
Teori pragmatisme tentang perubahan yang terus-menerus, didasari pandangan Heracleitos (540-480 SM), seorang filosof Yunani, dengan teori yang disebut “panta rei", artinya mengalir secara terus-menerus. Heracleitos berpendapat bahwa tidak ada sungai yang dialiri oleh air yang sama. Bagi pragmatisme tidak dikenal istilah metafisika, karena mereka tidak pernah memikirkan hakikat dibalik realitas yang dialami dan diamati oleh pancaindera manusia. Realitas adalah apa yang dapat dialami dan diamati secara inderawi.
Tema pokok filsafat pragmatisme adalah :
a)               Esensi realitas adalah perubahan
b)              Hakikat sosial dan bilogis manusia yang esensial
c)               Relativitas nilai
d)              Penggunaan intelegensi secara kritis
Watak pragmatisme adalah humanistis dan menyetujui suatu dalil "manusia adalah ukuran segala-galanya " (man is the measure of all things). Tujuan dan alat pendidikan harus fleksibel dan terbuka untuk perbaikan secara terus-menerus. Tujuan dan cara untuk mencapai tujuan pendidikan harus rasional dan ilmiah.

2.               Pengetahuan
Pragmatisme mengajarkan bahwa tujuan semua berpikir adalah kemajuan hidup. Di balik semua gambaran berpikir terdapat tujuan tertentu untuk memajukan dan memperkaya kehidupan, walaupun kita tidak menyadarinya. Semua kebenaran mengandung watak pagmatis. Dalam arti dapat mengabdi pada tujuan-tujuan tertentu dan alam dan pengalaman manuisa, dan akan bernilai apabila dihubungkan dengan tujuan-tujuan tersebut. Jadi, nilai pengetahuan manusia harus dinilai dan diukur dengan kehidupan praktis. Menurut James, tidak ada ukuran untuk menilai kebenaran absolut. Benar atau palsunya pikiran akan terbukti di dalam penggunaannya dalam praktik, dan tergantung dari berhasil atau tidaknya tindakan tersebut.
Pengetahuan yang benar adalah pengetahuan yang berguna. Menurut James, suatu ide itu benar apabila memilik-i konsekuensi yang menyenangkan. Menurut Dewey dan Peirce, suatu ide itu benar apa bila berakibat memberi kepuasan jika diuji secara objektif dan ilmiah. Secara khusus pragmatisme mengemukakan bahwa ide yang benar tergantung kepada konsekuensi-konsekuensi yang diobservasi seca.ra objektif, dan ide tersebut operasional.
Teori kebenaran merupakan alat yang kita pergunakan untuk memecahkan masalah dalam pengalaman kita. Oleh karena itu, suatu teori harus dinilai dalam pengertian mengenai keberhasilannya menjalankan fungsinya. /Jadi, menurut pragmatisme, suatu teori itu benar apabila berfungsi. Kebenaran bukan sesuatu yang statis, melainkan tumbuh berkembang dari waktu ke waktu.
Menurut John Dewey, yang dikemukakan oleh Wairu Rasyidin (1992 : 144), dalam menerapkan konsep pragmatisme secara eksperimental dalam memecahkan masalah hendaknya melalui lima tahapan yaitu :
Langkah ke-1    :   Indeterminate situation, timbulnya situasi ketegangan di dalam pengalaman yang perlu dijabarkan secara spesifik.
Langkah ke-2    : Diagnosis,       artinya  timbul upaya mempertajam masalah sampai pada menentukan faktor-faktor yang diduga menyebabkan timbulnya masalah.
Langkah ke-3 : Hypothesis, artinya ada upaya menemukan gagasan yang diperkirakan dapat mengatasi masalah, dengan jalan mengerahkan pengumpulan informasi yang penting-penting.
Langkah ke-4    :   Hypothesis     testing, yaitu       pelaksanaan berbagai hipotesis yang paling relevan secara teoritis untuk membandingkan implikasi masing-masing kalau dipraktikkan.
Langkah ke-5 :  Evaluation,       atinya mempertimbangkan hasilnya setelah hipotesis terbaik dilaksanakan, yaitu dalam kaitan dengan masalah yang dirumuskan pada langkah ke-2 dan ke-3.
Menurut Dewey, yang benar adalah apa yang pada akhimya disetujui oleh semua orang yang menyelidikinya.
Selanjutnya pada bagian lain _Dewey mengatakan bahwa, pengalaman merupakan suatu interaksi antara lingkungan dengan organisme biologis. Pengalaman manusia membentuk aktifitas untuk memperoleh pengetahuan. Kegiatan berpikir timbul disebabkan karena adanya gangguan terhadap situasi (pengalaman) yang menimbulkan masalah bagi manusia (langkah ke-1 dan ke-2). Untuk memecahkan masalah tersebut disusun hipotesis sebagai bimbingan bagi tindakan berikutnya (langkah ke-3}. Dewey menegaskan, bahwa berpikir, khusunya berpikir ilmiah merupakan alat untuk memecahkan masalah. Itulah yang disebut metode intelegen atau metode ilmiah.

3.       Nilai
Pragmatisme mengemukakan pandangannya tentang nilai, bahwa nilai itu relatif. Kaidah-kaidah moral dan etik tidak tetap, melainkan selalu berubah, seperti perubahan kebudayaan, masyarakat, dan lingkungannya. Pragmatisme menyarankan untuk menguji kuali­tas nilai dengan cara yang sama seperti kita menguji kebenaran penge­tahuan dengan metode empiris. Nilai moral maupun etis akan dilihat dari perbuatannya, bukan dari segi teorinya. Jadi, pendekatan terhadap nilai adalah cara empiris berdasarkan pengalaman-pengalaman manusia, khususnya kehidupan sehari-hari. Pragmatisme tidak mena­ruh perhatian terhadap nilai-nilai yang tidak empiris, seperti nilai supernatural, nilai universal, bahkan termasuk nilai-nilai agama.
. Nilai merupakan suatu realitas dalam kehidupan, yang dapat dimengerti sebagai suatu wujud dalam perilak-u manusia, sebagai suatu pengetahuan, dan sebagai suatu ide. Suatu perilaku, pengetahuan, atau ide dikatakan benar apabila mengandung kebaikan, berguna, dan bermanfaat bagi manusia untuk penyesuaian diri dalam kehidupan pada suata lingkungan tertentu.
4.       Pendidikan
a.       Konsep pendidikan
Tidak bisa disangkal lagi bahwa pragmatisme telah membe­rikan suatu sumbangan yang sangat besar terhadap teori pendidikan. John Dewey merupakan tokoh pragmatisme yang secara eksplisit membahas pendidikan, dan secara sistematis menyusun teori pendi­dikan yang didasarkan atas filsafat pragmatisme.
Menurut Dewey, terdapat dua teori pendidikan yang saling bertentangan antara yang satu dengan yang lainnya. Kedua teori pendidikan tersebut adalah paham konservatif dan "unfolding theory" (teori pemerkahan). Teori konservatif mengemukakan, bahwa pendidikan adalah sebagai suatu pembentukan terhadap pribadi anak tanpa memperhatikan kekuatan-kekuatan atau potensi-potensi yang ada dalam diri anak. Pendidikan akan menentukan segalanya. Dalam arti, pendidikan merupakan suatu proses pembentukan jiwa dari luar, di mana mata pelajaran telah ditentukan menurut kemauan pendidik, sehingga anak tinggal menerima saja.
"Unfolding theory,"' berpandangan bahwa anak akan berkembang dengan sendirinya, karena la telah memiliki kekuatan­-kekuatan laten, di mana perkembangan si anak telah memiliki tujuan yang pasti. Tujuan yang dimaksud selalu digambarkan sebagai suatu yang lengkap dan pasti. Menurut pragmatisme, pendidikan bukan merupakan suatu proses pembentukan dari luar, dan juga bukan merupakan suatu pemerkahan kekuatan-kekuatan laten dengan sendirinya (unfolding). Pendidikan menurut pragmatisme, merupakan suatu proses reorganisasi dan rekonstru.ksi dari pengalaman-pengalaman individu. Dalam hal ini dapat dikatakan, baik anak maupun orang dewasa selalu belajar dari pengalamannya.
 Pengalaman-pengalaman tersebut bukan terdiri atas materi intern maupun materi yang diungkapkan, melainkan materi yang berasal dari aktivitas yang asli dari lingkungan.
Selanjutnya John Dewey mengemukakan perlunya atau pentingnya pendidikan, karena berdasarkan atas tiga pokok pemikiran, yaitu :
1.       Pendidikan sebagai kebutuhan untuk hidup
Pendidikan merupakan kebutuhan untuk hidup, karena adanya anggapan bahwa pendidikan selain sebagai alat, pendidikan juga berfungsi sebagai pembaharuan hidup, "a renewal of life". Hidup itu selalu berubah selalu menuju pada pembaharuan. Hidup, berjuang mempergunakan tenaga lingkungan untuk kebutuhan hidup. Menurut Dewey (1964) hidup itu adalah "a self renewing process throught action upon environment".
Kehidupan masyarakat tumbuh melalui proses transmisi, seperti kehidupan biologis. Transmisi berlangsung melalui alat perantara atau alat komunikasi dalam kebiasaan bertindak, berpikir, dan merasakan, dari yang lebih tua pada yang lebih muda. Perlu diketahui bahwa renewal of life (pembaharuan hidup) tersebut tidak berlangsung secara otomatis, melainkan banyak tergantung pada teknologi, sendiri, ilmu pengetahuan, dan perwujudan moral kemanuisaan. Untuk itulah semuanya membutuhkan pendidikan.
2.       Pendidikan sebagai kebutuhan tcntuk hidup
Menurut Dewey, pertumbuhan merupakan suatu perubahan tindakan yang berlangsung terus untuk mencapai suatu hasil selanjutnya. Pertumbuhan itu terjadi karena kebelummatangan. Di dalam kebelummatangan itu si anak memiliki kapasitas pertumbuhan potensi, yaitu kapasitas yang dapat tumbuh menjadi sesuatu yang berlainan, karena pengaruh yang datang dari luar. Ciri_dari kebelum­matangan adalah adanya ketergantungan dan plastisitas si anak. Ketergantungan tidak dimaksudkan sebagai suatu pribadi yang selalu harus mendapatkan pertolongan, melainkan harus dilihat sebagai pertumbuhan yang didorong oleh kemampuan yang tersembunyi, yang belum diolah. Pengertian fisik yang lemah harus diartikan sebagai suatu kebelummampuan dalam meniru lingkungan.
Yang dimaksud plastisitas adalah kemampuan belajar dari pengalaman, yang merupakan pembentukan kebiasaan. Kebiasaan yang mengambil "habituation ", yaitu keseimbangan dan kebutuhan yang ada pada aktivitas organisme dengan lingkungan dan kapasitas yang aktif untuk mengadakan penyesuaian kembali, agar dapat mencapai suatu kondisi baru. Habituation mencakup latar belakang pertumbuhan, di mana aktivitas aktif menentukan penumbuhannya. Kebiasaan aktif melibatkan pikiran, inisiatif; dan hasil untuk melaksanakan atau mencapai tujuan-tujuan baru. Pertumbuhan merupakan karakteristik dari hidup, sedangkan pendidikan adalah hidup itu sendiri, pertumbuhan itu sendiri.
3.       Pendidikan sebagai fungsi sosial
Menurut Dewey, kelangsungan hidup terjadi karena self renewal. Kelangsunag self renewal ini pun terjadi karena pertum­buhan, karena pendidikan yang diberikan kepada anak-anak dan para pemuda di masyarakat. Masyarakat meneruskan, menyelamatkan sumber dan cita-cita masyarakat. Dalam hal ini, lingkungan merupakan syarat bagi pertumbuhan, dan fungsi pendidikan merupakan "a process of leading and bringing up " (Dewey, 1964). Pendidikan merupakan suatu cara yang ditempuh masyarakat dalam membimbing anak yang masih belum matang menurut bentuk susunan sosial sendiri.
Sekolah sebagai alat tranmisi, merupakan suatu lingkungan khusus yang memiliki tiga fungsi, yaitu :
a)       Menyederhanakan dan menertibkan faktor-faktor bawaan yang dibutuhkan untuk berkembang.
b)      Memurnikan dan mengidealkan kebiasaan masyarakat yang ada.
c)       Menciptakan suatu lingkungan yang lebih luas, dan lebih baik daripada yang diciptakan anak tersebut dan menjadi milik mereka untuk dikembangkan.

b.      Tujuan pendidikan
Untuk mengetahui apa yang menjadi tujuan pendidikan pragmatisme, tidak terlepas dari pandangannya tentang realitas, teori pengetahuan dan kebenaran, serta teori nilai. Seperti telah dikemukakan, bahwa realitas merupakan interaksi manusia dengan lingkungannya. Dunia akan bermakna sejauh manusia mempelajari makna yang terkandung di dalamnya. Perubahan merupakan esensi dari realitas, dan harus siap mengubah cara-cara yang akan kita kerjakan. Mengenai kebenaran, pada prinsipnya kebenaran itu tidak mutlak, tidak berlaku umum, tidak tetap, tidak berdiri sendiri, dan tidak terlepas dari akal yang mengenal. Yang ada hanya kebenaran khusus, yang setiap saat dapat diubah oleh pengalaman berikutnya. Sedangkan mengenai nilai, pragmatisme menganggap bahwa nilai itu relatif. Kaidah-kaidah moral dan etika tidak tetap, melainkan terus berubah seperti perubahan kebudayaan dan masyarakat.
Dari uraian di atas, dapat ditafsirkan apa dan bagaimana tujuan pendidikan serta bagaimana pelaksanaan pendidikan diorganisasikan. Objektivitas tujuan pendidikan harus diambil dari masyarakat di mana si anak hidup, di mana pendidikan berlangsung, karena pendidikan berlangsung dalam kehidupan. Tujuan pendidikan tidak berada di luar kehidupan, melainkan berada di dalam kehidupan sendiri. Seperti telah diuraikan, bahwa esensi realitas adalah perubahan, tidak ada kebenaran mutlak, serta nilai itu relatif, maka berkaitan dengan tujuan pendidikan, menurut pragmatisme tidak ada tujuan umum yang berlaku secara universal, tidak ada tujuan yang tetap dan pasti. Yang ada hanyalah tujuan khusus belaka, tidak ada tujuan yang berlaku umum yang universal. Jadi, tujuan pendidikan tidak dapat ditetapkan pada semua masyarakat, kecuali apabila terdapat hubungan timbal balik antara masing-masing individu dalam masyarakat tersebut
Beberapa karakteristik tujuan pendidikan yang har-us diperhatikan adalah :
1)      Tujuan pendidikan hendaknya ditentukan dari kegiatan yang didasarkan atas kebutuhan intrinsik anak didik.
2)      Tujuan pendidikan harus mampu memunculkan suatu metode yang dapat mempersatukan aktivitas pengajaran yang sedang berlangsung.
3)      Tujuan pendidikan adalah spesifik dan langsung. Pendidikan harus tetap menjaga untuk tidak mengatakan yang berkaitan dengan tujuan umum dan tujuan akhir.
Tujuan pendidikan adalah suatu kehidupan yang baik, yaitu kehidupan seperti digambarkan oleh Kingsley Price (1962 : 476) : "The best life of individuals is the life of intellegenee – of fi-eedom and control over one's own experience, and the best sosiety is the democratic - one in which there is no enduring class strati,fications" Kehidupan yang baik dapat dimiliki, baik oleh individu maupun oleh masyarakat. Kehidupan yang baik merupakan suatu pertumbuhan maksimum, dan hanya dapat diukur oleh mereka yang memiliki intelegensi (kecerdasan) yang baik. Perbuatan yang entelegen (cerdas) merupakan jaminan terbaik untuk melangsungkan pertumbuhan, merupakan jaminan terbaik untuk moral yang baik.
Pada hakikatnya masyarakat adalah terbaik, namun masyarakat yang demokratis merupakan masyarakat terbaik, di mana terdapat kesempatan untuk setiap pekerjaan, dan dalam demokrasi tidak mengenal adanya stratifikasi sosial. Kesamaan kesempatan merupakan jaminan bahwa setiap orang akan dapat mengambil bagian dalam melaksankan segala aktivitas lembaga yang la masuki. Penggunaan intelegensi secara maksimal, berarti memberi kesempatan suatu pertumbuhan kepada individu secara maksimal.

c.   Proses pendidikan
Menurut pragmatisme, pelajaran harus didasarkan atas fakta-­fakta yang sudah diobservasi, dipahami, serta dibicatakan sebe­lumnya. Bahan pelajaran harus mengandung ide-ide yang dapat mengembangkan situasi untulc mencapai tujuan dan harus ada hubungannya dengan materi pelajaran. Pendidikan dalam setiap fase atau tingkatan harus memiliid kriteria untuk memanfaatkan kehidupan sosiai, yang sangat fundamental dalam kehidupan masyarakat.
Pragmatisme meyakini bahwa pikiran anak itu aktif dan kratif, tidak secara pasif begitu saja menerima apa yang diberikan guranya. Pengetahuan dihasilkan dengan transaksi antara manusia dengan lingkungannya, dan kebenaran adalah termasuk pengetahuan. Dalam situasi belajar; guru seyogyanya menyuswl situasi-situasi belajar sekitar masalah utama yang dihadapi masyarakat, yang pemecahannya diserahkan pada siswa-siswa untuk sampai kepada pengertian lebih baik tentang lingkungan sosial maupun lingkungan fisik.
Dalam menentukan kurikulum, setiap pelajaran tidak boleh terpisah, ha.rus merupakan suatu kesatuan. Pengalaman di sekolah dan di luar sekolah harus dipadukan, sehingga segalanya merupakan suatu kebulatan atau kesatuan. Caranya adalah dengan mengambil suatu masalah menjadi pusat segala kegiatan. Masalah yang dijadikan pusat kegiatan sebaiknya adalah hal-ha1 yang menarik perhatian anak, harus sesuai dengan minat anak. Kegiatan tersebut dilaksanakan dalam pelajaran proyek.
 Metode yang sebaiknya digunakan dalam pendidikan adalah metode disiplin, bukan dengan kekuasaan. Kekuasaan tidak dapat dijadikan metode pendidikan karena merupakan suatu kekuatan yang datang dari luar, dan didasari oleh suatu asumsi bahwa ada tujuan yang baik dan benar secara objektif, dan si anak dipaksa untuk mancapai tujuan tersebut. Kekuasaan tidak sesuai dengan kemauan dan minat anak, serta gurulah yang menentukan segala-galanya. Guru memak­sakan bahan pelajaran kepada anak, dan guru pulalah yang berpikir untuk anak. Dengan cara demikian tidak mungkin anak akan mempunyai perhatian yang spontan atau minat langsung terhadap bahan pelajaran.
Disiplin merupakan kemauan dan minat yang keluar dari dalam diri anak sendiri. Anak akan belaja.r apabila la memiliki minat dan antisipasi terhadap suatu masalah untuk dipelajari. Anak tidak akan memiliki dorongan untuk belajar matematika seandainya ia tidak merasakan suatu masalah di mana ia tidak mengetahuinya. Disiplin itu memang muncul dari dalam diri anak, namun dituntut suatu aktivitas dari anak yang lainnya, dalam usaha mencapai tujuan bersama. Dalam usaha belajar tersebut dibutuhkan suatu kerja sama dengan yang lainnya. Anak dalam kelas harus merupakan suatu kelompok yang merasakan bersama terhadap suatu masalah, dan mereka secara bersama bekerja secara sama-sama dalam memecahkan masalah-­masalah tersebut. 
 Guru di sekolah harus merupakan suatu petunjuk jalan serta pengamat tingkah laku anak, untuk mengetahui apakah yang menjadi minat perhatian anak. Dengan mengamati perilaku anak tersebut, guru dapat menentukan masalah apa yang akan dijadikan pusat perhatian anak.
Jadi, dalam proses belajar mengajar, ada beberapa saran bagi guru yang hanzs (hperhatikan, terutama dalam menghadapi siswa dalam kelas, yaitu :
1)      Guru tidak boleh memaksakan suatu ide atau pekerjaan yang tidak sesuai dengan minat dan kemampuan siswa.
2)      Guru hendaknya menciptakan suatu situasi yang menyebabkan siswa akan merasakan adanya suatu masalah yang la hadapi, sehingga timbul minat untuk memecahkan masalah tersebut.
3)      Untuk membangkitkan minat anak, hendaklah guru mengenai kemampuan serta minat masing-masing siswa.
4)      Guru harus dapat menciptakan situasi yang menimbulkan kerja sama dalam belajar, antara siswa dengan siswa, antara siswa dengan guru, begitu pula antara guru dengan guru.
Jadi, tugas guru dalam proses belajar mengajar adalah sebagai fasilitator, memberi dorongan dan kemudahan kepada siswa untuk bekerja bersama-sama, menyelidiki dan mengamati sendiri, berpikir dan menarik kesimpulan sendiri, membangun dan menghiasi sendiri sesuai dengan minat yang ada pada dirinya. Dengan jalan ini si anak akan belajar sambil bekerja. Anak harus dibangkitkan kecerdasannya, agar pada diri anak timbul hasrat untuk menyelidiki secara teratur, dan akhirnya dapat berpikir ilmiah dan logis, yaitu cara beipikir yang didasarkan pada fakta dan pengalaman.

BAB III

IMPLIKASI PENDIDIKAN


3.1         Tujuan Pendidikan
Memberi pengalaman untuk penemuan hal-hal baru dalam hidup social dan pribadi.

3.2         Peranan Siswa
Suatu organisme yang memiliki kemampuan yang luar biasa dan kompleks untuk tumbuh.

3.3         Peranan Guru
Mengawasi dan membimbing pengalaman belajar siswa, tanpa mengganggu minat dan kebutuhannya.

3.4         Kurikulum
Berisi pengalaman yang teruji yang dapat diubah. Minat dan kebutuhan siswa yang dibawa ke sekolah dapat menentukan kurikulum. Menghilangkan perbedaan antara pendidikan liberal dengan pendidikan praktis atau pendidikan jabatan.

3.5         Metode
Metode aktif, yaitu learning by doing (belajar sambil bekerja).

BAB IV

PENUTUP


4.1    Kesimpulan
Pragmatisme adalah salah satu Mazhab Filsafat Pendidikan yang memaknakan segala sesuatu tergantung dari hubungannya dengan apa yang dapat dilakukan. Pragmatisme dipandang sebagai filsafat Amerika asli.
Tema pokok Filsafat Pragmatisme adalah :
1.      Esensi realitas adalah perubahan
2.      Hakikat sosial dan biologis manusia yang esensial
3.      Relativitas nilai
4.      Penggunaan intelegensi secara kritis

4.2    Tanggapan Kelompok
Filsafat pendidikan Pragmatisme merupakan salah satu Mazhab filsafat pendidikan yang memaknakan segala sesuatu tergantung dari hubungannya dengan apa yang dapat dilakukan. Dalam implikasinya terhadap pendidikan Pragmatisme baik berupa tujuan pendidikan, peranan siswa, peranan guru, kurikulum dan metodenya  sangat baik  dan tepat apabila diterapkan dalam pendidikan saat ini.

DAFTAR PUSTAKA


-          Yunus, A. 1999. Filsafat Pendidikan. Bandung : CV Citra Sanana Grafika.

-          Sadulloh Uyoh. 2006. Pengantar Fisafat Pendidikan. Bandung : CV Alfabeta.
0 Komentar untuk "Contoh Makalah Agama Tentang Aliran Filsafat Pragmatisme"

Back To Top