katazikurasana30. Diberdayakan oleh Blogger.

Berkahnya Belajar Tanpa Menyontek Adalah Kita Benar-Benar Menguasai Pelajaran Kita


B.    Menyontek
Eri Sudewo (dalam Asep Sapa’at, 2012, hlm.157) mengatakan
Watak tak lain adalah perilaku. Ada perilaku baik dan ada yang buruk. Yang baik disebut karakter, perilaku buruk dikatakan tabiat. Baik buruk, ternyata itu perjalanan. Bicara perjalanan adalah bicara proses. Bicara proses adalah bicara dinamika pembentukan watak seseorang. Yang baik buruknya amat tergantung pada latar keluarga, pengaruh lingkungan, serta tuntunan nilai dan norma adat tradisi, kepercayaan, dan agama.
Istilah menyontek yang sudah tidak asing di telinga setiap orang, menjadikan salah satu hal yang hampir terlupakan dalam dunia pendidikan. Satu bentuk perilaku kurang baik yang muncul pada siswa. Kurangnya perhatian menangani masalah menyontek membuat pertanyaan tersendiri menucul definisi yang mengartikan mengenai perilaku menyontek ditinjau dari berbagai perspektif kelimuan.
Menyontek adalah tindakan koruptif yang mengacu kepada kebohongan akademik. Abdullah Alhadza dalam Satriya (2011) mengutip pendapat dari Bower (1964) yang mendefinisikan “cheating is manifestation of using illigitimate means to achieve a legitimate end (achieve academic success or avoid academic failure),” maksudnya “menyontek” adalah perbuatan yang menggunakan cara-cara yang tidak sah untuk tujuan yang sah/terhormat yaitu mendapatkan keberhasilan akademis atau menghindari kegagalan akademis.
Dalam konteks pendidikan di sekolah, beberapa perbuatan yang termasuk dalam kategori menyontek antara lain adalah
a.       Meniru pekerjaan teman,
b.      Bertanya langsung pada teman ketika sedang mengerjakan tes/ujian,
c.       Membawa catatan pada kertas, pada anggota badan atau pada pakaian saat masuk ke ruang ujian,
d.      Menerima dropping jawaban dari pihak luar,
e.       Mencari bocoran soal,
f.       Arisan (saling tukar) mengerjakan tugas dengan teman,
g.      Menyuruh atau meminta bantuan orang lain dalam menyelesaikan tugas ujian di kelas.
Asep Safaat (2012, hlm. 233) menyatakan, “Memilih sikap menyontek, itu berisiko. Memutuskan bersikap jujur juga tak kalah berisiko. Mengedepankan hati nurani dalam memilih suatu sikap, itu cara mendidik karakter yang sesungguhnya”.
 Banyaknya bentuk menyontek yang dipraktikkan siswa mulai dari cara yang sederhana seperti melihat jawaban teman, bertanya atau membuka buku sampai dengan cara yang canggih sekalipun seperti menggunakan media handphone untuk browsing jawaban ketika ujian. Dengan demikian hal ini membuat perilaku menyontek semakin menjamur di dunia pendidikan.
Pendapat lain dinyatakan oleh Stephen Davis (2009) “Cheating can be defined as deceiving or depriving by trickery, defrauding, misleading or fooling another.” Maksudnya menyontek dapat didefinisikan sebagai menipu atau merampas dengan tipu daya, menipu, menyesatkan atau menipu orang lain.
Bisa terlihat bahwa perbuatan ini memang bukan perbuatan yang bisa terus menerus kita anggap wajar, sehingga tidak ada penyelesaian yang dilakukan untuk mengubah kebiasaan seperti ini terjadi di sekolah khususnya.
Nilai jujur bisa diajarkan melalui penyampaian materi pelajaran, yaitu pengajaran tentang kejujuran. Ujian kejujuran sesungguhnya hanya akan terjadi ketika siswa mempunyai kesempatan untuk menyontek, tetapi dia memutuskan untuk tetap jujur.
Seseorang dengan motivasi berprestasi tinggi ingin mengerjakan sesuatu dengan baik dan mereka mempunyai standar yang tinggi untuk kualitas hasil pekerjaan. Seseorang dengan motivasi berprestasi rendah cenderung tidak mudah dalam mengatasi godaan untuk tidak menyontek.
Orang yang dominan oleh pusat kendali internal mempercayai bahwa kemajuan dalam hidup ditentukan oleh faktor-faktor dari dalam diri sendiri. Mereka bekerja keras, mempunyai cita-cita tinggi, ulet, dan menganggap kemajuan dirinya disebabkan ia bertanggungjawab terhadap hasil kerjanya. Orang-orang yang lebih dominan dikendalikan faktor-faktor dari luar dirinya, mempercayai bahwa keberhasilan ditentukan oleh hal-hal dari luar dirinya, seperti nasib baik, adanya koneksi, bukan karena kerja keras diri sendiri.
“Our personal histories form a fabric of perspectives on not just cheating but also learning itself. We often learn more from our mistakes than when everything goes perfectly. Those responsible for learning, including each of us, know many of the obstacles to learning. Teaching is about removing obstacles to learning and reinforcing fundamental curiosities about how the world works. We often do not succed because of the variety of ways learning occurs, unevenness in the pace of learning, or misunderstandings about how learning can happen. Student cheating is not only an obstacle to learning, of course, but unsophisticated ways in confronting it may also inhibit learning..” (Stephen Davis, 2009, hlm. 71)
Dikatakan bahwa kita membentuk perspektif tentang menyontek bukan hanya kecurangannya saja tetapi juga belajarnya itu sendiri. Kita sering belajar lebih banyak dari kesalahan kita daripada ketika semuanya berjalan dengan sempurna. Mereka yang bertanggung jawab untuk belajar, termasuk masing-masing dari kita, mengatahui banyak hambatan untuk belajar. Mengajar adalah tentang bagaimana menghapus hambatan untuk belajar dan memperkuat keingintahuan mendasar tentang bagaimana dunia bekerja. Kita sering tidak mengalami sukses karena berbagai cara pembelajaran terjadi, ketidakrataan dalam kecepatan belajar, atau kesalahpahaman tentang bagaimana belajar bisa terjadi. Siswa menyontek bukan hanya hambatan untuk belajar, tentu saja, tapi cara-cara canggih dalam menghadapi hal itu juga dapat menghambat belajar.
Szabo dan Underwood (dalam Anderman dan Murdock, 2007) mengidentifikasi beberapa faktor yang termasuk pada faktor situasional yang menyebabkan siswa menyontek adalah sebagai berikut:
1.      Materi ujian yang diberikan oleh guru terlalu sulit atau tidak dipahami oleh siswa sehingga siswa menjadi gelap mata dan mencari jalan pintas untuk menyelesaikan ujian yakni dengan menyontek.
2.      Adanya kompetisi antara satu siswa dengan siswa yang lainnya sehingga menimbulkan tekanan terhadap siswa yang mempunyai potensi yang rendah untuk menyamakan kedudukan dengan temannya yang lain.
3.      Perilaku menyontek tidak lepas dari pengaruh adanya pengakuan atau persetujuan terhadap tindakan menyontek dan contoh tindakan menyontek dilakukan oleh teman sebaya dalam satu kelompok atau teman sekelas.
4.      Karakteristik guru atau pengawas ketika ulangan juga berpengaruh. Hal ini telah dipahami oleh banyak siswa, pengawas yang baik atau tidak terlalu ketat akan membuat siswa merasa aman untuk menyontek sedangkan apabila pengawas ketika ujian benar-benar memperhatikan siswa serta tidak memberikan sedikitpun kesempatan siswa untuk menyontek maka siswa pun akan merasa takut walaupun hanya melirik kepada temnanya.
Keempat faktor tersebut sangat berhubungan dengan gaya belajar seseorang. Bila saat kegiatan belajar mengajar kebutuhan gaya belajar masing-masing siswa terpenuhi, maka siswa dapat menyerap pelajaran dan mengerjakan soal ulangan dengan mudah tanpa menyontek.
“Berkahnya belajar tanpa menyontek adalah kita benar-benar menguasai pelajaran kita” (Yunsirno, 2010, hlm. 133). Bila kita menguasai materi pelajaran, maka tidak lagi menggunakan menyontek sebagai jalan pintas untuk mendapatkan nilai yang bagus tetapi tidak murni hasil usaha sendiri.
Selain itu, menyontek merupakan perbuatan yang tidak terpuji, membohongi diri sendiri untuk mendapatkan kepuasaan. Maka Olivia (2011, hlm. 13) menyatakan “Ingatlah bahwa menyontek itu salah dan kita berdosa bila melakukannya karena menipu diri sendiri dan orang lain”.

0 Komentar untuk "Berkahnya Belajar Tanpa Menyontek Adalah Kita Benar-Benar Menguasai Pelajaran Kita"

Back To Top